Keluh Kesah Bumi
by af abi ze
Ketika gempa menggonjang,
ketika tsunami menerjang,
ketika lautan pasang,
sangat dahsyat,
sangat dahsyat,
sangat dahsyat.
Tubuh-tubuh terhimpit batu
ciptaannya sendiri.
Tiada lagi jeritan terdengar,
isak tangis pun jua,
nafas-nafas terhenti mendadak.
Darah segar kecoklatan mengalir,
di sela-sela reruntuhan.
Sesak dada ini,
menjadi saksi membisu,
pilu.
Ketika lumpur menyembur,
ketika gas berancun mancur,
ketika lahar panas meluncur,
ketika manusia melacur,
tanpa kendali,
tanpa kendali,
tanpa kendali.
Tubuh-tubuh hancur,
rumah-rumah tergusur,
terpatri alami terkubur.
Semua baru, mengabu
dalam kengiluan kalbu.
Mengapa ini terjadi,
Mengapaaa?!
Mengapa harus menjadi saksi,
Mengapaaa?!
Aku bertanya pada lautan,
ia begitu cuek dengan rintihanku,
bahkan asik memainkan ombaknya,
yang terus mengalun tinggi,
sembari menelan kapal-kapal,
dan saudaraku pun lenyap.
Aku bertanya pada gunung,
ia begitu asik dengan batuknya,
sembari terus meludah sekenanya,
dan saudaraku pun hangus.
Aku bertanya pada bumi,
ia begitu mabuk dalam goyangannya,
tak pedulikan saudaraku,
tunggang langgang terlindas batu.
Aku bertanya pada langit,
ia begitu angkuh dengan ketinggiannya,
sesekali menghembuskan nafasnya,
menyapu rumah saudaraku,
luluh lantah.
Aku pun bertanya kepadamu,
sebaliknya,
kamu bertanya kepadaku,
aku pasti tak tahu,
itu bukan rahasiaku.
Mungkin, saat itu,
bumi berkeluh kesah,
dengan bahasanya yang khas,
bencana kita sebut.
Andai bumi bisa menulis,
mungkin ratusan surat telah kita baca,
andai bumi bisa bertutur,
mungkin keluh kesahnya telah kita dengar.
Sayang….
kita telah memperdayainya,
memperbudaknya semau kita,
kita tak menyadarinya,
bahkan pura-pura buta dan tuli,
kepadanya.
Tahukah kawan,
bumi begitu karena perintah Tuhan,
untuk menjaga keseimbangan dirinya,
dari kematian suri kita.
Yaach, dengan keluh kesah bumi,
kita dibangkitkan dari kematian,
yang telah kita ciptakan sendiri,
dengan keangkuhan dan kebodohan,
supaya kita menyadari,
celoteh tangan kita,
dan kesaksian kaki kita.
Semua itu,
semua itu,
semua itu,
menjadi bukti nyata,
akibat tingkah kita,
yang telah lama terjadi.
Sapen, 16 Mei 2008
Puisi ini terinspirasi dari
Surat al-Zalzalah dan Bencana alam akhir-akhir ini.