Keluh Kesah Bumi

16 05 2008

Keluh Kesah Bumi
by af abi ze

Ketika gempa menggonjang,
ketika tsunami menerjang,
ketika lautan pasang,
sangat dahsyat,
sangat dahsyat,
sangat dahsyat.
Tubuh-tubuh terhimpit batu
ciptaannya sendiri.
Tiada lagi jeritan terdengar,
isak tangis pun jua,
nafas-nafas terhenti mendadak.
Darah segar kecoklatan mengalir,
di sela-sela reruntuhan.
Sesak dada ini,
menjadi saksi membisu,
pilu.

Ketika lumpur menyembur,
ketika gas berancun mancur,
ketika lahar panas meluncur,
ketika manusia melacur,
tanpa kendali,
tanpa kendali,
tanpa kendali.
Tubuh-tubuh hancur,
rumah-rumah tergusur,
terpatri alami terkubur.
Semua baru, mengabu
dalam kengiluan kalbu.

Mengapa ini terjadi,
Mengapaaa?!
Mengapa harus menjadi saksi,
Mengapaaa?!
Aku bertanya pada lautan,
ia begitu cuek dengan rintihanku,
bahkan asik memainkan ombaknya,
yang terus mengalun tinggi,
sembari menelan kapal-kapal,
dan saudaraku pun lenyap.
Aku bertanya pada gunung,
ia begitu asik dengan batuknya,
sembari terus meludah sekenanya,
dan saudaraku pun hangus.
Aku bertanya pada bumi,
ia begitu mabuk dalam goyangannya,
tak pedulikan saudaraku,
tunggang langgang terlindas batu.
Aku bertanya pada langit,
ia begitu angkuh dengan ketinggiannya,
sesekali menghembuskan nafasnya,
menyapu rumah saudaraku,
luluh lantah.
Aku pun bertanya kepadamu,
sebaliknya,
kamu bertanya kepadaku,
aku pasti tak tahu,
itu bukan rahasiaku.

Mungkin, saat itu,
bumi berkeluh kesah,
dengan bahasanya yang khas,
bencana kita sebut.
Andai bumi bisa menulis,
mungkin ratusan surat telah kita baca,
andai bumi bisa bertutur,
mungkin keluh kesahnya telah kita dengar.
Sayang….
kita telah memperdayainya,
memperbudaknya semau kita,
kita tak menyadarinya,
bahkan pura-pura buta dan tuli,
kepadanya.

Tahukah kawan,
bumi begitu karena perintah Tuhan,
untuk menjaga keseimbangan dirinya,
dari kematian suri kita.
Yaach, dengan keluh kesah bumi,
kita dibangkitkan dari kematian,
yang telah kita ciptakan sendiri,
dengan keangkuhan dan kebodohan,
supaya kita menyadari,
celoteh tangan  kita,
dan kesaksian kaki kita.

Semua itu,
semua itu,
semua itu,
menjadi bukti nyata,
akibat tingkah kita,
yang telah lama terjadi.

Sapen, 16 Mei 2008

Puisi ini terinspirasi dari

Surat al-Zalzalah dan Bencana alam akhir-akhir ini.





Menulis adalah Terapi

8 05 2008

Aku memang bukan penulis yang handal. Tetapi dalam soal tulis-menulis, aku melakukannya hampir setiap hari dalam buku diaryku . Mungkin sampai saat ini buku diaryku berjumlah lebih dari tiga puluh buah, dengan rata-rata ketebalan 1.5 cm.

Ketika aku menulis, alu tidak pernah berfikir bahwa apa yang aku tulis harus bagus dan harus bisa dinikmati orang lain. Tidak. Aku tidak berpikiran demikian. Aku terus saja menulis apapun yang bisa aku tulis berdasarkan pada pergolakan pemikiranku, perasaanku dalam beragama, serta pengalamanku dalam berinteraksi dengan bermacam orang dan berbagai hal. Bahkan kemandegan mood, bagiku justru menjadi inspirasi untuk terus menulis. Kita ingat Ahmad Wahib?

Ketika menulis aku — sungguh ini terlalu sombong dan tidak pantas — mengimaginasikan diriku seperti orang-orang suci dari berbagai agama, seperti: Thomas Aquinas, Hildeger of Bingen, Rabi’ah al-Adawiyah, Ibn Arabi (The Great Master), Syuhrawardi as-Syahid, atau para filosof yang lain.

Mereka itu adalah pribadi-pribadi yang terus berkutat dalam pena dan kertas, hingga melahirkan karya-karya yang sangat monomental. Memang sebagian dari mereka tidak pernah merasakan ‘buah’ tulisan dari tangan mereka. Tetapi buah tulisan itu bisa dinikmati oleh banyak kalangan.

Motivasiku yang lain untuk terus menulis hingga hari ini adalah dari kesadaranku yang paling dalam bahwa “Aku bukan seorang nabi atau rasul yang dirinya ditulis para murid-muridnya; aku juga bukan orang hebat yang punya sekretaris pribadi yang senantiasa menuliskan apa yang dilakukan, apa yang dikatakan, dan apa pula yang diinginkan”. Karenanya aku harus menuliskan apa yang aku pikirkan, aku rasakan, dan aku alami.

Selain itu, dalam aksiku ini aku suka memaksa diri untuk mendapatkan justifikasi bahwa menulis is the best, seperti menggunakan makna ayat “Tuhan mengajarkan orang yang tak tahu melalui pena (al-Alaq).” Aku percaya itu. Dan ilmu Tuhan, tidak akan pernah habis meskipun seluruh pohon di muka bumi ini menjadi penanya dan air laut menjadi tintanya (Luqman). Melalui tulisan itu, aku berharap mungkin bisa menikmati seperseratus tetes ilmu Tuhan. Itu mungkin.

Iming-iming lain yang membuatku bertahan menulis adalah karena, “Menulis menjadi terapi kecantikan yang paling efektif.” Memang ini sulit dirasionalkan. Tetapi dari sejumlah penulis dan sastrawan yang aku jumpai, wajah mereka memancarkan aura yang luar biasa.

Juga, sikapku ngotot untuk menulis diary karena menulis adalah obat stress. Ketika aku tengah dibanjiri persoalan, aku bisa menuangkannya dan menyederhankannya dalam kata, kalimat, alinea. Ketika persoalan itu tertulis, aku bisa membacanya berulang dan mengklasifikannya sesuai dengan bobot resikonya. Enak deh. Persoalan itu telah berpindah dalam tulisan. Kitapun terbebas dari stress.

ayo menulis.





Karya adalah Cermin

8 05 2008

Karya adalah Cermin

Ketika serangan kritik datang, seorang pengarang (the author atau the creator) tidak boleh marah. Meskipun proses penulisan atau penciptaan hingga berdarah-darah. Kritikan harus didudukkan dalam kaitannya dengan hasil. Tidak lebih dari itu. Pembaca tidak mau tahu perjuangan jibaku, jihad akbar, kerja keras bahkan sampai berkeringat darah sekalipun atas diupayakan the author.

Tentang bagaimana menyikapi hubungan the author the text dan the reader, aku ingin menjelaskan dengan menggunakan nalar Imam Ghazali dalam sebuah karyanya. Imam Ghazali ini menggunakan ilustrasi cermin, aku hanya ikut-ikutan saja. Ingat lho, aku hanya ikut-ikutan saja.

Begini, bagiku karya ibarat cermin yang digunakan untuk melihat wajah pembaca. Cermin (the text) yang bersih jernih tanpa ada benda yang menghalanginya, akan menangkap bayangan benda (the reader) di depannya sebagaimana adanya. Orang (the reader) yang bertampang buruk, akan tampak keburukannya, begitu pula orang (the reader) yang rupawan pasti akan terlihat ketampanannya. Kecuali itu cermin (the text) ajaib, orang (the reader) yang berwajah buruk akan terlihat tampan. Itu pun hanya terjadi dalam dunia dongeng. Dengan syarat jika cermin (the text) dengan orang (the reader) yang bercermin pada tempat yang tepat.

Sebaliknya cermin (text) yang bopeng-bopeng atau terhalang oleh sejumlah benda, maka orang (the reader) yang bercerminpun tidak akan tertangkap semua, meskipun di tempat yang tepat. Mungkin saja orang (the reader) yang berada di depan cermin sangat tampan. Tetapi ketika berada di depan cermin (text) model kedua ini, kita tidak bisa mengatakan bahwa orang (the reader) yang bercermin itu berwajah buruk. Wong cermin (the text) nya saja, buruk. Kecuali cermin nenek sihir, itu lain lagi persoalannya. Dalam kaitan ini, sang pembuat cermin (the author) tidak bijaksana memaharahi orang (the reader) yang bercermin, apalagi menjelek-jelekannya .

Mungkin saja cermin (the text) itu telah berada pada posisinya yang pas dan tidak ada noda sedikitpun yang menghalanginya. Tetapi bisa jadi pengguna cermin (the reader) tidak berada sepenuhnya di depan cermin. Ketika wajahnya hanya kelihatan separo, atau mungkin hanya mulutnya saja, pengguna cermin (the reader) tidak bisa mengatakan bahwa cermin (the text) itu tidak sempurna. Dalam konteks ini, kalau ada pengguna cermin (the reader) marah-marah, waaaaah… itu tidak bijaksana (tapi bijaksini he he he….). Wong dia tidak tepat di depan cermin, je.
Mungkin saja cermin (the text) itu tidak mempunyai noda apapun, bersih sih tanpa cela secara alami. Hanya saja posisi cermin (the text) tidak pada tempat yang layak, padahal orang yang bercermin (the reader) sudah pada tempatnya. Dalam kaitan ini, pembuat cermin (the author) ) tidak bisa memaksa orang yang bercermin (the reader) harus mengikuti posisi cermin (the text). Karena pengguna cermin (the reader) sudah begitu. Kalau ada pengguna cermin (the raeder) sampai mengatakan bahwa wajahnya kelihatan sempurna, dia telah berbohong, atau telah melakukan kesaksian dalam tekanan. Waaaah ini bisa repot.

Namun yang lebih penting dari itu semua yang harus disadari adalah bahwa sebuah karya ketika telah terlempar ke publik, siapapun bisa
berkomentar apapun, bahkan menjadikannya untuk ganjalan meja atau pintu
tak masalah. Ketika itu telah terjadi yang namanya “the death of the author”. ‘The author’ nya sudah pasti
tak mampu melakukan pembelaan apalagi menyelamatkannya, ketika karya
itu dizalimi para pembaca. Apalagi ketika sejumlah pembaca melontarkan
kritik, baik kritik pedas, kritik manis, maupun kritik gurih.





Taman Siswa vs Taman Pintar

27 03 2008

“Taman Siswa vs Taman Pintar”

Kawan-kawan salah seorang mengirim tulisan di bawah ini, langsung ke email saya. Isi email tersebut di antaranya adalah:

“…. istilah siswa berasal dari (bhs jawa kuno atau sansekerta, kalo g salah lho coba cek lagi yaa) siswa artinya bodoh, jadi maha-siswa artinya maha-bodoh alias orang yang yang paling bodoh. makanya mereka sering geger en rame terus, maklum mahasiswa”.

Bagi saya, email tersebut semakin melengkapi pengetahuan kita. Setidaknya tentang kata siswa yang kita banggakan itu.

Secara pribadi saya  tidak tahu apa artinya siswa dan dari mana asalnya. Saya  pun juga belum ngecek di kamus Bahasa Sanskerta. Mungkin benar, secara harfiah siswa itu artinya bodoh, dan mahasiswa artinya mahabodoh.

Namun demikian dalam konteks ini penggunaan kata siswa lebih saya  pahami sebagai gelar seseorang yang berusaha untuk meraup sebanyak mungkin ilmu (pengetahuan vidya, knowledge, science). Mungkin kata ini dipahami sebagai upaya untuk menyebut diri seseorang untuk dirinya sendiri di hadapan sang penguasa pengetahuan. Ada mental ketawaduan, hormat, atas kharisma sang guru.

Dalam khazanah bahasa Indonesia kata siswa selalu dihadapkan dengan guru. Sama halnya: dalam tarekat, murid (orang yang membutuhkan) dengan mursyid (orang yang mengarahkan) ; dalam pesantren, santri dengan kyai; dalam college, student dengan teacher; dalam spiritualitas, disciple dengan spiritual master; dalam tradisi katolik (tolong benarkan kalau salah), awam dengan Romo; mahasiwa dengan mahaguru (guru besar); atau entah apa lagi.

Bagi kawan-kawan muslim yang pernah singgah di pesantren atau pelaku tarekat tertentu atau pernah belajar ta’lim muta’allim hubungan orang yang menuntut ilmu dengan penguasa ilmu dilukiskan sangat radikal. Para murid itu di hadapan mursyid seperti mayat. Maksudnya adalah murid tidak boleh protes, dan harus mengikuti apa saran mursyid. Begitu pula dengan siswa dan guru.
Karenanya suatu kesimpulan yang terlalu cepat jika being a siswa dinilai sebagai tindakan yang bodoh.
Bahkan menurutku, siswa merupakan representasi sempurna pribadi yang merasa kurang ilmu. Merasa kurang ilmu tidak bisa dipahami sebagai orang bodoh. Selain itu, rasanya sangat sulit bagi kita jika mencari ilmu pada seseorang tetapi terbersit dalam kesadaran kita, kita telah menjadi guru. Ilmu apapun sulit kita transformasikan ke dalam diri kita (kognitif, psikomotorik, afektif). Karena ada keangkuhan yang memenjarakan diri kita.

Makanya sejak dulu Ki Hajar Dewantara mendirikan “Taman Siswa”, taman orang-orang yang haus pengetahuan (merasa bodoh). Mungkin jika Bapak Pendidikan kita itu menyebutnya dengan “Taman Pintar”, taman orang-orang yang merasa cukup pengetahuan, ceritanya jadi lain.

Barangkali potret “Taman Pintar” bisa kita lihat seperti Taman Pintar yang ada di belakang pasar Beringharjo (Yogyakarta) itu. Di mana orang-orang yang masuk hanya sekedar bersuka cita, tetapi tidak mengenal secara manusiawi dengan orang lain yang datang di dalamnya. Perolehan kenikmatan dalam Taman Pintar itu hanya bisa dinikmati oleh mereka yang kebetulan hari itu membawa uang yang cukup banyak. Bagi yang membawa uang sedikit, mungkin hanya tinggal gigit jari. Mungkin pula setelah pulang sakit hati dan iri, karena tidak bisa melakukan hal yang sama dengan lainnya, alia terperangkap dalam konflik.

Tentu saja, semua itu berbeda dengan “Taman Siswa” yang memberi pencerahan bagi orang-orang masuk.

Tentang adanya keramaian di kalangan siswa itu tentu berbeda dengan ramainya orang pintar. Siswa ramai karena sebagai upaya penelururan makna suatu simbol. Itu tentu saja berbeda dengan ramianya orang yang tidak haus akan pengetahuan. Ramai dan gegernya siswa adalah sebuah dinamika yang memicu lahirnya pengetahuan dan kearifan baru. karenanya dua suasana itu bahkan kalau perlu harus diciptakan.. Begitu.

Ini hanya sebuah tanggapan saja. semoga kawan-kawan yang lain tahu, kalau-kalau ada komentar bahwa mahasiswa adalah mahabodoh itu tidak lain hanya candaan saja.





Menginvestigasi Kebenaran Agama

14 03 2008

Menginvestigasi Kebenaran Agama

Dalam suatu kesempatan di Yogyakarta tahun 2006 yang lalu, aku menyatakan , “I do believe that all religions are true, but I do not believe if every adherent in the right way”. Pernyataan itu aku sampaikan pada seorang pendeta dan seorang muslim tulen. Mereka tidak memberi reaksi yang menolak, tetapi mereka juga tidak menerimanya secara terus terus. Pernyataan itu aku pahami sebagai tahapan perjalananku di dalam menempuh kebenaran. Sehingga pada tingkatan ini aku sangat mungkin terjerat dalam kesalahan dan kekeliruan. Wallahu a’lam.

Sehubungan dengan hal tersebut, akupun semakin menyadari bahwa semua agama benar, tetapi tidak setiap pemeluk agama di jalan yang benar. Karena kebenaran suatu agama terkait kuat dengan pengalaman, pemikiran, perasaan setiap subyek yang memeluknya. Artinya, kebenaran puncak suatu agama bisa sangat subyektif. Oleh karena itu, sesuai dengan judul di atas, tidak ada salahnya jika kita melakukan investigasi terhadap kebenaran agama. Langkah ini perlu kita tempuh bukan untuk meragui eksistensi agama-agama yang sudah ada, melainkan membenahi kembali pemahaman, penghayatan, dan pengamalan diri kita atas nama agama. Jangan-jangan apa yang selama ini kita sandarkan sebagai kegiatan keagamaan ternyata justru jauh dari agama. Singkatnya, saatnya kita membenahi kembali persepsi diri kita atas agama yang kita yakini. Dengan demikian, kita tetap mensucikan agama sebagai sumber kebenaran.

Dalam konteks Indonesia, secara pribadi saya prihatin, Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya menganut agama ternyata menduduki peringkat ketiga sebagai negara terkorup di dunia (2003). Ini suatu fakta yang mencengangkan banyak kalangan. Seakan agama hanya menjadi label dan identitas sosial semata, tetapi tidak menjadi “ruh ” suci dalam menjalankan kehidupan di jalan yang berkebenaran. Semoga tulisan ini bermanfaat. Wallahu a’lam.





Hello world!

14 03 2008

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!